TITIK DILEMATIS MASA DEPAN PAPUA

(Analisa Paradoksial Persoalan Papua Dalam Kebijakan Pemerintahan Indonesia Melalui Kajian Sejarah dan Dampak Pemberlakuan Otonomi Khusus Papua)

Ilustrasi (Albert-JP)

(Analisa Paradoksial Persoalan Papua Dalam Kebijakan Pemerintahan Indonesia Melalui Kajian Sejarah dan Dampak Pemberlakuan Otonomi Khusus Papua)

Oleh : Albert Yatipai.

OPINI

Prolog.

Alm. Drs. Agus A. Alua, MA (mantan Ketua MRP) pernah bilang, “sejarah adalah pelajaran yang berharga untuk menata suatu bangsa ke masa depan yang lebih baik”. Begitupula pendapat Pdt. Dr. Steven Tong, “jika seorang tidak pernah mempelajari sejarah, maka ia tidak akan pernah mengetahui asal usul dan akar sesungguhnya bagi dirinya sendiri”. Oleh sebab itu dalam konteks judul diatas, penting untuk kita melihat kembali sejarah papua, sehingga kita dapat memahami akar paradoksial persoalan papua yang masih terus menjadi persoalan hingga saat ini, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dan peradaban bersama, khususnya orang papua demi melangkah menata masa depan yang lebih baik dan sungguh-sungguh menjadi tuan di atas tanahnya sendiri tanpa campur tangan dari berbagai pihak lain, sebagaimana Pdt. Ishak Samuel Kijne telah meletakkan peradaban orang papua, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri, walaupun bangsa lain mempunyai marifat dan akal budi lebih, tidak akan mampu memimpin bangsa ini.
Dengan demikian, untuk memberikan gambaran masa depan papua yang ideal, dalam tulisan ini terlebih dahulu akan dijelaskan fakta sejarah papua dari beberapa referensi buku, kemudian gambaran pergumulan orang papua dalam kebijakan dan program pemerintah Indonesia hingga keadaan saat ini secara kolektif dan berurutan lewat kajian berikut.

01 Mei 1963, Integrasi atau Aneksasi

Dalam berbagai buku coretan fakta sejarah yang ada, tanggal 01 Mei 1963 menjadi awal pergumulan pemerintah Indonesia sebagai hari “integrasi” dan orang Papua sebagai hari “aneksasi” di negeri cendrawasih ini, saat itu disebut West New Guinea oleh pemerintah Belanda.

Dua tahun Sebelum memasuki tahun 1963, tepatnya tanggal 01 Desember 1961, orang Papua telah mendirikan sebuah Negara West Papua atas pengakuan pemerintah Belanda melalui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pasal 73 tahun 1952 yang menyatakan pengakuan Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua dan juga sejak dibentuklah parlemen orang Papua yang bernama New Guinea Raad pada 05 April 1961. Negara West Papua ditetapkan melalui Kongres Nasional I Papua pada 19 Oktober 1961, saat itulah parlemen ini mulai menetapkan simbol-simbol Negara West Papua, seperti Bendera “Bintang Kejora”, Lambang Negara “Burung Mambruk”, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lain sebagainya, hingga memutuskan 01 Desember 1961 sebagai hari pengibaran bendera Bintang Kejora (Baca Socratez Sofyan Yoman, Suara Gembala : Menentang Kejahatan Kemanusiaan Di Tanah Papua, 2012, Hal. 117)

Demikian dijelaskan oleh Pdt. Dr. Benny Giay, Ph.D, bahwa “sebelum integrasi terjadi, orang papua berpandangan bahwa, pintu gerbang Papuanisasi akan mulai terbuka, pada tanggal 1 Desember 1961. Karena pada tanggal ini, bendera Bintang Kejora Papua Barat dinaikkan, disamping bendera Kerajaan Belanda, di depan Gedung Nieuw Guinea Raad (Gedung Dewan Kesenian Papua, sekarang), tepat pada Jam 08.10. diiringi nyanyian Kebangsaan Papua Barat : Hai Tanahku Papua.” (Dikutib Socratez Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia : Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat, 2012, Hal. 73).

Menyikapi peristiwa politik orang Papua itu, pada 19 Desember 1961 Presiden Indonesia Ir. Soekarno mengeluarkan Maklumat TRIKORA (Tiga Komando Rakyat,) walaupun bertentangan dengan keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, 27 Desember 1949 yang diputuskan Indonesia dan Belanda mengenai pengakuan dan pembagian kekuasaan antara kedua Negara tersebut (Drs. C.S.T Kansil SH, Tata Negara, 1989, Hal. 87). Isi dari maklumat Trikora itu ialah, 1). Bubarkan Negara Boneka Papua Barat buatan belanda, 2). Kibarkan Sang Saka Merah Putih di seluruh daratan Irian Barat dan 3). Mobilisasi umum merebut Irian Barat.

Setahun kemudian, Pemerintah Belanda dan Indonesia terlibat dalam Perjanjian New York (New York Agreement) 15 Agustus 1962 atas dukungan Amerika Serikat. Dan sebulan setelah itu, pada 30 September 1962 di buat lagi satu Perjanjian di Roma yang dikenal Roman Agreement. Dalam perjanjian itu, pokok-pokok penting yang ditetapkan ialah :

1) Penundaan atau bahkan pembatalan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969.

2) Indonesia menduduki Papua Barat selama 25 tahun, terhitung 1 Mei 1963 (sampai 1988).

3) Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969, adalah dengan system “musyawarah” untuk “mufakat” sesuai dengan system Dewan Musyawah Indonesia.

4)Laporan akhir tentang hasil-hasil plesibit tahun 1969 kepada sidang umum PBB agar diterima tanpa sanggahan terbuka.

5) Pihak Amerika Serikat bertanggungjawab menanamkan modalnya pada sejumlah BUMN di bidang Eksploitasi SDA Papua Barat.

6) Amerika Serikat menunjang pembangunan Papua Barat selama 25 tahun melalui jaminan kepada Bank Pembangunan Asia sebesar USD 30 Juta.

7) Amerika Serikat menjamin pendanaan program Transmigrasi Indonesia ke Papua Barat melalui Bank Dunia.
(Sumber: Socratez Sofyan Yoman : Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat, 2012, Hal. 77)

Sungguh Ironis, semua pembuatan perjanjian-perjanjian itu dibuat tanpa melibatkan orang Papua sebagai pemilik hak ulayat tanah papua dan hanya mengatur tentang soal peralihan papua dari tangan pemerintah Belanda kepada Badan PBB UNTEA (United Nation Temporary Executive Administration) dan selanjutnya dari UNTEA kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 tanpa sama sekali membahas tentang Nasib dan Masa Depan Orang Papua.

Sehingga, tanggal 1 Mei 1963 dalam Pandangan orang papua sebagai hari “Aneksasi” (pemaksaan) wilayah Papua masuk dalam Pemerintahan Indonesia dan merupakan dosa sejarah bagi Pemerintah Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat bahkan diplesetkan sebagai awal malapetaka bagi orang papua.

Keterlibatan Militer Indonesia Dan Persoalan Pepera 1969.

Berdasarkan Perjanjian-Perjanjian diatas, Pemerintah Indonesia mulai menduduki Tanah Papua sejak 1 Mei 1963. Dan atas keterlibatan Militer Indonesia, sebanyak 1025 orang (dari sekitar 800.000an) orang Papua saat itu dipilih untuk memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969 agar Papua tetap berada dalam Kekuasaan Pemerintah Indonesia.

Beberapa catatan sejarah mengungkapkan Pelaksanaan PEPERA 1969 itu dilakukan dengan penuh rekayasa, dalam tekanan intimidasi dan cacat terhadap ketetapan hukum dibawah kendali Militer Indonesia, sehingga berbagai kalangan bukan saja orang Papua tetapi juga Masyarakat Internasional sampai saat ini masih mempertanyakan keabsaan pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua tersebut.

Gembala Socratez Sofyan Yoman dengan jelas memaparkan berbagai protes terhadap Pelaksanaan PEPERA 1969, dalam bukunya “Suara Gembala”, salah satunya ialah, pada 1 Desember 2009 di Gedung Parlemen Inggris, London. Para ahli Hukum Internasional untuk Papua Barat, International Lawyer for West Papua (ILWP) saat peluncuran buku Prof. Pieter Drooglever (sejarahwan Belanda yang meneliti pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua) menyatakan, “40 tahun yang lalu secara ironis dilaksanakan PEPERA 1969. Tapi sebenarnya tidak ada pemilihan. Yang terjadi dua skandal, yaitu aneksasi secara illegal Indonesia tentang Papua Barat dan kolusi Internasional dengan Indonesia” (2012 : 132).
Juga Seorang Akademisi Inggris, Dr. Jhon Saltford yang menyelidiki hasil Pepera 1969 mengatakan, “tidak ada kebebasan dan kesempatan dalam proses pengambilan keputusan dimana orang papua barat dilibatkan. Jadi, PBB, Belanda dan Indonesia gagal dan sengaja sejak dalam penandatanganan tidak pernah melibatkan orang-orang Papua untuk menentukan nasib sendiri secara jujur”, selanjutnya, dalam pers Radio Australia pada 27 November 2002, Saltford sendiri mengatakan, “…….., saya mencari arsip-arsip PBB dan telah menerima banyak informasi dari dokumen sangat rahasia. Semua itu sangat bertentangan dengan Laporan Sekjen PBB. Setelah saya lihat dan baca, mayoritas masyarakat Papua berkeinginan menentukan nasib sendiri secara murni di Papua Barat dan melawan Indonesia” (2012 : 126-127).

Sangat jelaslah dalam kalangan orang papua awalnya pasti yakin dengan pelaksanaan PEPERA 1969 ialah sebagai kesempatan untuk memilih menentukan nasib hidupnya ke depan untuk keluar dari cengkraman aneksasi Pemerintah Indonesia terhadap wilayah papua saat itu. Namun, dalam kenyataannya orang Papua harus berhadapan dengan kekejaman dan kebiadaban Militer Indonesia yang tidak manusiawi.
Hal ini nampak jelas dalam pernyataan Gubernur Pertama Irian Barat Alm. Eliezer Bonay bahwa, “pertama saya percaya bahwa Rakyat Papua mempunyai hak untuk memutuskan nasib mereka tahun 1969 sesuai dengan Perjanjian New York, tetapi secepatnya orang-orang Indonesia tiba di negeri kami (Papua), sama sekali sesuatu yang menakutkan mulai terjadi. Ada kekejaman pencurian, penculikan, penyiksaan, penganiyayaan, banyak hal terjadi yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam kehidupan orang Papua”. (Baca Socratez Sofyan Yoman, Pemusnahan Etnis Melanesia, 2012, hal. 195-196).
Akhirnya sampai saat ini, keabsaan pelaksanaan PEPERA 1969 di Papua Barat masih di ragukan, dipersoalkan dan menuai hujan kritik dari berbagai kalangan Dunia. Mereka mempersoalkan pelaksanaan PEPERA yang penuh kebohongan dan kejahatan kemanusiaan karena dianggap melanggar hukum internasional, sehingga hasil PEPERA 1969 dalam dokumen sidang Umum PBB hanya tercatat sebagai “take note”, istilah itu jauh dengan disahkan, hanya dicatat karena masih ada masalah serius dalam pelaksanaannya.

Program Transmigrasi, Operasi Militer Dan Kebangkitan Orang Papua

Dalam masa Orde Baru (1970 – 1998) Pemerintahan Indonesia, orang Papua kemudian diperhadapkan dengan Program Transmigrasi yang mendatangkan orang non papua untuk hidup dan tinggal bersama di tanah Papua. Program Trnsmigrasi ini didukung oleh berbagai kalangan Internasional terutama Amerika Serikat dengan bantuan dana sebesar 30 $ tiap tahunnya (lihat pokok Perjanjian Roma diatas). Selain itu, orang Papua juga masih menghadapi berbagai tekanan kekejaman dan kebiadaban kemanusiaan yang dilakukan oleh Militer Indonesia dalam berbagai operasinya dengan berbagai alasan (Stigma) terhadap orang papua sebagai separatis, pendukung OPM, pengacau keamanan dan sebagainya tanpa bukti yang jelas.

Pada saat itu, sudah banyak orang papua yang berprofesi sebagai Pendeta, Guru, Mantri dan Pegawai lainnya berkat kerja keras Para Misionaris (Kristen maupun katolik) Zending yang bekerja keras membina dan menyiapkan kader Manusia Papua demi melihat masa depannya yang cerah.

Dr. Yan Boelaars MSC, yang telah mengadakan penelitian tentang Manusia Irian (Papua) sejak 1950, dalam bukunya “Manusia Irian” memberikan gambaran keadaan orang Papua di masa Orde Baru sebagai berikut, “kesulitan yang mereka (orang Papua) alami, terdiri dari wasangka mudah yang timbul di kalangan pimpinan puncak terhadap orang-orang ini.

Cepat sekali orang menganggap mereka itu bersimpati dan bekerjasama secara aktif dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), begitu mereka itu tampil membela hak-hak penduduk asli. Memang mereka itu (orang Papua) tidak menginginkan, bahwa orang-orang mereka mengalami nasib yang sama seperti kaum Aborigin di Australia atau orang Indian di Amerika. Mereka juga menyatakan bahwa mereka berharap orang-orang mereka tidak menjadi budak di negerinya sendiri. Mereka sendiri merasa seringkali hanya sebagai warga Negara Kelas Dua terhadap kaum Imigran yang datang dari pulau-pulau lain,….” (1992 : 196).
Disini jelas terlihat juga tekanan secara mental (psikis) orang papua saat itu, Selain tekanan fisik dari aparat militer dan pemerintah Indonesia yang selalu berprasangka buruk terhadap orang papua. Orang papua juga merasakan sakit dalam tekanan batinnya yang sangat mempengaruhi segala bidang kehidupannya, begitu terlihat jelas dalam pernyataan diatas. Kesadaran akan Pemusnahan Etnis dan Perbudakan terhadap orang Papua mulai tersadar dalam benak, tambah lagi perlakuan kaum Migrant (non Papua) yang memang menempatkan orang Papua sebagai warga Negara kelas dua dengan ujaran-ujaran berbau rasisme seperti primitive, bodoh, ketinggalan, belum berpengalaman dan lain sebagainya.

Dalam situasi dan keadaan genting itu, Bangsa Papua yang berpendidikan maupun orang biasa, laki-laki maupun perempuan, pantai maupun gunung, pulau dan tanah besar, semuanya bangkit menggugat visi dan kedudukan yang di berikan Jakarta. Semua bersikap dan bersuara dengan caranya sendiri melakukan aksinya dalam decade ini (1970-1980an) tidak hanya menyikapi Program Transmigrasi dan pembentukan Papua sebagai DOM (Daerah Operasi Militer) tetapi pandangan para elit dan masyarakat Indonesia yang merasa dirinya sebagai kelas terpilih ketika berhadapan dengan papua. Program, baik DOM maupun Transmigrasi, dilihat orang Papua sebagai lanjutan dari agenda sebelumya : PEPERA 1969 yang penuh rekayasa oleh militer (Benny Giyai, Hidup dan Karya Jhon Rumbiak, 2011, Hal. 83).
Akibat tidak tahan dengan Program Pemerintah Indonesia tersebut, banyak Orang Papua akhirnya Mengungsi ke Daerah Papua New Guinea (PNG) dan ada pula yang meminta Suaka Politik ke beberapa Negara lainnya. Peristiwa-peristiwa dalam tahun 1980an itu mengundang simpati Masyarakat Internasional menanggapi kebijakan pemerintah Indonesia di Papua Barat ditandai dengan terbitnya tiga (3) buku yang khusus berbicara tentang kebijakan Transmigrasi, Operasi Militer dan Kebangkitan Perlawanan Orang Papua. Judul ketiga buku itu ialah :
(1). Buku “West Papua: The Obliteration of a People” (Kepunahan Suatu Masyarakat) diterbitkan oleh TAPOL Inggris tahun 1983,

(2). Buku “Indonesia’s Secret War” (Perang Rahasia Indonesia), ditulis oleh Robin Osborne dan terbit tahun 1985 (kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “KIBARAN SAMPARI” tahun 2001 oleh Elsham Jakarta), dan buku berikutnya,

3). “Poisoned Arrows“ (Anak Panah Beracun) yang ditulis oleh George Monbiot dan diterbitkan tahun 1989. Secara garis besar, buku-buku ini berkesimpulan bahwa sedang terjadi Pemusnahan Etnis Papua Melanesia dibawah kekuasaan Pemerintahan Indonesia sejak tahun 1960an (Lihat Benny Giyai, Hidup dan Karya Jhon Rumbiak, 2011, Hal. 57-59).

UU Otshus No. 21 Tahun 2001: Wajah Baru Kebijakan Pemerintah Indonesia

Ketika Indonesia mengalami reformasi di tahun 1998, bersamaan dengan tumbangnya masa Presiden Soeharto (Orde Baru) yang Militeristik di Papua. Ruang demokrasi orang Papua mulai terbuka lebar dan sepanjang tahun 1998 hingga 2000 dan rakyat papua mulai melakukan protes terhadap pemerintah Indonesia dengan menuntut Kemerdekaan Papua sambil menaikkan bendera Bintang Kejora di berbagai daerah tanah Papua.
Dalam waktu singkat, Rakyat Papua bersatu dan memilih 100 orang perwakilan orang Papua dari berbagai derah yang disebut “Tim Seratus” untuk menyampaikan aspirasi Rakyat Papua kepada Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. B. J. Habbie di Jakarta pada 26 Februari 1999, berikut isi pernyataannya :

“Permasalahan mendasar yang menimbulkan ketidakstabilan politik dan keamanan di Papua Barat (Irja) sejak 1963 sampai sekarang bukan semata-mata karena kegagalan pembangunan, melainkan status Politik Papua Barat pada 1 Desember 1961 dinyatakan sebagai sebuah Negara Merdeka diantara Bangsa lain di muka Bumi. Pernyataan tersebut menjadi alternative terbaik, sebuah cita-cita masa depan Papua Barat, namun telah dianeksasi oleh Negara Republik Indonesia.

Oleh sebab itu, dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, tidak ada alternative lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka, pada hari ini, Jumat 26 Februari 1999 kepada Presiden republik Indonesia kami Bangsa Papua Barat menyatakan bahwa : Pertama, kami Bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk Merdeka dan Berdaulat penuh di antara Bangsa-Bangsa lain di Bumi. Kedua, segera bentuk Pemerintahan Peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya Maret 1999. Ketiga, jika tidak tercapai kedua penyelesaian tersebut, maka segera adakan Perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kami Bangsa Papua Barat menyatakan tidak ikut serta dalam Pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999. Demikian pernyataan Politik ini dibuat dan disampaikan kepada Pemerintah Republik Indonesia di Jakarta”.
(Baca Agus A. Alua, Dialog Nasional Papua Dan Indonesia, 26 Februari 1999, Hal. 38-39).

Demikian Rakyat Papua menyampaikan aspirasi masa depannya kepada Pemerintah Indonesia waktu itu. Selanjutnya, rakyat Papua juga mengadakan Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni tahun 2000 di Gedung Olahraga (GOR) Jayapura dengan mengangkat tema : “Mari Kita Meluruskan Sejarah Papua Barat”, dan sub tema : “Rakyat Bangsa Papua Barat Bertekat Menegakkan Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia Berdasarkan Prinsip-Prinsip Kebenaran Dan Keadilan Menuju Papua Baru”.

Menyikapi maraknya Aspirasi Politik Rakyat Papua tersebut, Pemerintah Indonesia atas dukungan Pemerintah Australia, pemerintah Negara-Negara Uni Eropa, Pemerintah Kawasan Pasifik, Pemerintah Amerika Serikat bahkan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional mulai merancang dan menjalankan pelaksanaan kebijakan Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 bagi Provinsi Papua untuk mengantar orang-orang Papua ke masa depan yang lebih baik. Terutama penghormatan dan pengakuan atas Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua Barat dengan amanat Perlindungan, Keberpihakan dan Pemberdayaan. Sebagaimana di jelaskan Bapa Gembala Sofyan Socratez Yoman (Pemusnahan Etnis Melanesia, 2012 : 131) dibawah ini :

a). Hak Hidup : Perlindungan dan Pembelahan HAM, Kesehatan Masyarakat, Pengendalian Penduduk di Tanah Papua.

b). Hak Intelektual : Pendidikan Formal (Taman Kanak-Kanak/TK – Perguruan Tinggi/PT), Pendidikan Non Formal (Keterampilan), Pemberdayaan (Beasiswa, Asrama atau Pemondokan), Muatan Lokal, Hak Cipta, Hak Intelegensia.

c). Hak Kesejahteraan : Pemberdayaan Ekonomi Rakyat, Pengusaha Asli sebagai Pelaku Bisnis, Penerimaan Pegawai (PNS/TNI POLRI dan Swasta) dan Promosi Jabatan, Pengaturan dan Pengawasan Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus.

d). Hak Politik : Klarifikasi Sejarah Politik Papua, Partai Lokal, Partai Nasional (Pertimbangan Papua dan Non Papua).

e). Hak Kultural (Kebudayaan) : Pengembangan dan Pemberdayaan Lembaga-Lembaga Masyarakat Adat, Pengembangan Kesenian Tradisional dan Lembaga Kesenian Daerah, Lagu-Lagu, Nama-Nama Tempat, Jalan, Lapangan Terbang.

f). Hak-Hak Perempuan : Keseimbangan Gender (Jenis Kelamin), Emansipasi Wanita, Pembebasan dari Budaya Penindasan dan Kekerasan Kultural, Pembebasan dari Diskriminasi Sosial, Politik dan Ekonomi.

g). Hak Ulayat : Kepemilikan dan Pemanfaatan Tanah, Kepemilikan dan Pemanfaatan Air, Laut, Gunung dan Hutan.

h). Hak Kebebasan Beragama : Memeluk Agama, Toleransi, Situs-Situs Warisan Sejarah Agama.

Demikianlah pokok-pokok Perlindungan, Keberpihakan dan Perberdayaan bagi Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua yang diamanatkan Pemerintah Indonesia melalui UU Otshus 21/2001 untuk mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan daerah secara mandiri, baik, bersih serta bertanggungjawab.

Singkat waktu, Otshus Papua telah berjalan 20 tahun sejak ditetapkannya (2001-2020) dengan kucuran dana mencapai 94,24 Triliun Rupiah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah Apakah kucuran dana sebesar 94,24 Triliun Rupiah itu sudah mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah secara mandiri, baik, bersih dan bertanggungjawab sesuai dengan amanat UU Otshus 2001 (Keberpihakan, Perlindungan dan Pemberdayaan) untuk menghormati serta mengangkat Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua seperti yang di jelaskan di atas ?
(Mari Kita Refleksikan)
Untuk diketahui bahwa, dalam konteks Implementasi otshus papua,tidak ada satu Perdasi dan Perdasus yang berjalan atau bisa dibuat sebagai wujud penjabaran dan Implementasi UU Otonomi Khusus. Yang lebih fatal lagi, yaitu tidak ada peraturan-peraturan atau keputusan-keputusan yang mengatur tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Mekanisme Pelaksanaan UU No. 21 Tahun 2001 di Papua (Lihat Sendius Wonda SH. M.Si, Tenggelamnya Rumpun Melanesia, 2007 : 231).

Padahal, untuk menjalankan suatu regulasi kebijakan suatu pemerintahan, dibutuhkan petunjuk ataupun mekanisme pelaksanaannya sebagai suatu pedoman serta tolak ukur implementasi dari suatu perundang-undangan. Sama seperti sebuah perencanaan yang musti kita siapkan sebelum membangun rumah yang baik dan bisa memberikan rasa nyaman kepada siapa saja yang akan menempatinya kemudian. Jika demikian, apa sebenarnya tujuan pemberlakuan otshus di papua ?, mengapa para elit papua terlanjut menggunakan dana 94,24 triliunan rupiah tanpa sama sekali ada regulasi dan petunjuk teknis pemakaiannya sejak tahun 2001 – saat ini ?,
sekarang orang papua mau kemana ?.

Sesuai dengan ketentuan 25 tahun pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sejak 2001 – 2026 mendatang, Tahun 2021 merupakan tahun akhir kucuran Dana Otonomi Khusus akan berhenti. Lantas apa pertanggungjawaban Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Indonesia kepada Rakyat Papua serta Dunia Internasional nanti ?.

Menurut Sendius Wonda SH. M.Si (Tenggelamnya Rumpun Melanesia, 2007 : 232), Setidaknya, ada tiga (3) gambaran Buruk Orang Papua yang akan di tampilkan Pemerintah Indonesia di mata Dunia Internasional setelah berakhirnya pemberlakuan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tahun 2026 mendatang, antara lain sebagai berikut :

1). Pemerintah NKRI telah memberikan Otonomi Khusus kepada Rakyat Papua selama 25 tahun, sejak tahun 2001 sampai 2026 tetapi mereka tidak mampu membangun papua dengan baik. Sebagai bukti ini banyak diantara mereka korupsi, menyimpang ketentuan Undang-Undang sehingga banyak pemimpin yang pernah menjadi pemimpin baik Camat, Bupati/Wali Kota, Gubernur dan DPRP, DPRD hidup dan berada dalam penjara NKRI.

2). Akan menunjukan orang papua secara ekonomi tidak mampu berdiri sendiri dan mereka akan menunjukan RAPORTNYA adalah sampai puluhan tahun Otonomi Khusus telah berjalan namun orang papua tidak mampu secara ekonomi. Pemerintah akan menunjukan sampai tahun 2026 pun mereka tidak mempunyai kios apalagi mempunyai toko.

3). Sampai saat ini telah mencapai 25 tahun tetapi orang papua tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai teknologi dan komunikasi sehingga Pemerintah NKRI akan melaporkan bahwa orang Papua tidak mampu berdiri sendiri.
Dan benar, begitulah bayangan pertanggungjawaban Otshus yang akan muncul kemudian dimata Dunia Internasional.

Dengan melihat sejarah panjang pergumulan orang papua dalam pemerintahan Indonesia, khususnya berbagai kebijakan pemerintah sejak 1 Mei 1963 sampai saat ini, jelas tidak ada keseriusan Indonesia untuk membangun orang papua kepada masa depan yang lebih baik. Walaupun Otonomi Khusus telah diberikan sejak 2001, tetapi sama sekali tidak ada satupun KEKHUSUSAN bagi Orang Papua, yang nampak malah OTSHUS menjadi kunci pembangunan “Bias Pendatang” seperti pernyataan Bapa Pdt. Dr. Benny Giyai. Juga, Bapa Gubernur Papua, Lukas Enembe pernah mengatakan, bahwa OTSHUS hadir sebagai sebuah “Operasi Khusus” Jakarta di papua serta juga Alm. Pater Dr. Nelles Tebay pernah menyebut OTSHUS sebagai suatu “otonomi Kasus” bagi orang papua dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia.

Bagaimana Masa Depan Papua Dalam Indonesia ?

Fakta sejarah dari seluruh pembahasan diatas menunjukan bahwa tidak ada masa depan orang papua selagi masih dalam kekuasaan Pemerintah Indonesia. Sejak 1 Mei 1963 Indonesia tidak pernah memikirkan masa depan orang papua yang ideal, melainkan orang papua terus di korbankan dalam berbagai kebijakan dan program pemerintah yang dibuat di tanah papua, mulai dari Status Daerah Operasi Militer (DOM), Transmigrasi, dan Otonomi Khusus yang secara realita jelas hanya untuk mempertahankan Kepentingan Politik, Ekonomi serta Kekuasaan Wilayah Indonesia atas tanah Papua ini. Pemerintah Indonesia sama sekali tidak pernah melihat lebih kedalam apa yang sebenarnya diinginkan oleh Rakyat Papua untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik untuknya dalam menghadapi perkembangan zaman ini ?.

Oleh sebab itu, sangatlah mustahil ketika Otshus papua berakhir tahun 2026 dan pemerintah Indonesia (se)akan sadar akan kesalahan-kesalahan masa lalunya dan kembali menawarkan suatu kebijakan baru yang lebih baik bagi papua, tetapi sebaliknya Indonesia akan menyerang habis-habisan pertanggungjawaban Otshus kepada orang papua (Elit Papua) untuk dilaporkan di Forum-Forum Internasional agar dijadikan bahan pertimbangan antara Kedaulatan Pemerintah Indonesia untuk tetap mempertahankan Papua dan ataupun kemauan Rakyat Papua untuk lepas dari Pemerintahan Indonesia.

Jelas disinilah titik persoalan yang sangat dilematis antara pemerintah Indonesia dan orang papua saat otshus berakhir nanti di tahun 2026, sehingga perlu ada suatu jalan penyelesaian yang adil, jujur dan benar secara Internasional di meja Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai SOLUSI FINAL persoalan papua demi menghargai masa depan serta keberlansungan hidup Orang Papua di atas tanahnya sendiri, karena tidak ada jalan lain untuk menjamin orang papua menuju masa depan, ketika terus berputar bersama kebijakan pemerintah Indonesia yang banyak tawaran dan malapetakanya untuk menghabiskan dan memusnahkan orang papua dari tanahnya sendiri dalam hitungan singkat beberapa tahun ke depan secara sistematis dan terstruktur.

Gambar : Doa Sulung Sebagai Dasar Peradaban Orang Papua (Goole.Com)

Epilog

Demikian kajian ini disusun berdasarkan fakta sejarah papua beserta berbagai pokok pikiran yang kritis melalui beberapa sumber buku yang secara khusus menggambarkan masa lalu orang papua sejak mulai digabungkan ke dalam pemerintahan Indonesia hingga saat ini sebagai bahan pembelajaran dan analisa nasib orang papua dalam sistim kebijakan pemerintah Indonesia demi menentukan sikap masa depan papua ke arah yang lebih baik, bebas dan terbuka sesuai dengan semangat dasar peradaban orang papua yang diletakkan oleh para penginjil zending, bahwa “Bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri, sekalipun bangsa lain mempunyai akal budi dan marifat lebih, tidak akan mampu memimpin bangsa ini” (Pdt. Isac Zamuel Kijne).

Akhir coretan, tidak ada yang lebih indah, selain “Cinta diri untuk sesama dalam persatuan yang kuat dan pasti menang”. Mohon masukan, komentar, kritik dan saran demi penyempurnakan tulisan ini, terimakasih, Tuhan Yesus berkati.

Referensi Buku:
Yoman, Socratez Sofyan, Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan Di Papua Barat, Penerbit Cendrawasih Press, Cetakan Ii, Jayapura/Numbay, Papua Barat, 2012.

Yoman, Socratez Sofyan, Suara Gembala, Menentang Kejahatan Kemanusiaan Di Tanah Papua, Penerbit Deiyai, Abepura Jayapura Papua, 2012.

Kansil, C. S. T., Drs. SH, Tata Negara Untuk SMA, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1989.

Giay, Benny, Hidup Dan Karya Jhon Rumbiak : Gereja, LSM Dan Perjuangan HAM Dalam Tahun 1980an Di Tanah Papua, Penerbit Deiyai, Jayapura, Papua Barat, 2011.

Boelaars, Jan, Manusia Irian (Dahulu, Sekarang, Masa Depan), Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Agus A. Alua, Dialog Nasional Papua Dan Indonesia, 26 Januari 1999, penerbit Sekretariat Presidium Dewan Papua dan Biro Penelitian STFT “Fajar Timur”, Jayapura, 2006.

Djonga, Jhon, & Dale, Cypri J. P., Paradoks Papua, Pola-Pola Ketidakadilan Social, Pelanggaran Hak Atas Pembangunan Dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, Dengan Focus Di Kabupaten Keerom, Knowledges And Social Justice Series, FOKER LSM, YTHP dan Sunspirit For Justice and Peace.

Haluk, Markus, Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua, Penerbit Pustaka Larasan, Denpasar, Bali, 2019.
Rosyadi, Slamet, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan, Penerbit Gava Media, Yogyakarta, 2010.
Wonda, Sendius, SH., M.Si.,

Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik Nkri Di Papua Barat, Penerbit Deiyai, Abepura, Jayapura, Papua Barat, 2007.

Azikin, Andi, Drs., M.Si., & Syafiie, H. Inu, Drs., M.Si., Perbandingan Pemerintahan, Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2007.

Dumupa, Yakobus Odiyaipai, Demokrasi Tidak Harus Langsung (Masalah, Dampak Dan Solusi Pemilihan Kepala Daerah Di Papua), Penerbit Lembaga Pendidikan Papua Dan Majelis Rakyat Papua, 2013.

Richardson, Edward, M., M., Love Yourself (Cintailah Dirimu), Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2002.

Widjojo, Muridan, Dr., & Tebay, Pater Neles, Dr., Pr., Buku Saku : Indikator Papua Tanah Damai Versi Masyarakat Papua, Jaringan Damai Papua (JDP), 2014.

Identitas Penulis :

Nama         : Albert Yatipai
Alamat       : Asrama Mahasiswa Tauboria Padang Bulan Jayapura
Pekerjaan  : Mahasiswa
No HP          : 0821 9953 8376

Writer: Albert yatipaiEditor: Admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *